Mantan Ketua Umum Dewan Adat Papua Uji KUHP

JAKARTA, HUMAS MKRI - Sidang pemeriksaan pendahuluan pengujian Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) untuk Perkara Nomor 76/PUU-XVII/2019 digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (2/12/2019). Pemohon adalah Forkorus Yaboisembut, mantan Ketua Umum Dewan Adat Papua Periode 2007-2015, Presiden NFRPB dengan kuasa hukum Jimmy Monim.
 Pemohon menyatakan keberatan terhadap penerapan Pasal 104, Pasal 106, Pasal 107, Pasal 108 juncto Pasal 87 dan Pasal 88 KUHP terhadap Masyarakat Adat Papua di  Papua Barat. Pemohon juga mengajukan permohonan keberatan terhadap surat maklumat Kepala Kepolisian Republik Indonesia Daerah Papua Nomor tentang Keamanan dan Ketertiban Umum yang terdiri dari 6 butir terlampir terutama butir ketiga yang berbunyi, “Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat memisahkan sebagian dan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan yang melakukan pemufakatan jahat.” Sebagaimana diatur dalam Pasal 104, Pasal 106, Pasal 107, Pasal 108 juncto Pasal 87, Pasal 88 KUHP dalam konteks sejarah Papua.

Ancaman pasal-pasal ini, menurut Pemohon, mengisyaratkan masih ada sengketa aneksasi wilayah kedaulatan negara. Kelanjutan dari aneksasi lewat perjanjian New York dan follow up-nya (Pepera dan Resolusi PBB 2504) sebagai dasar hukum internasional bagi Indonesia hingga kini. “Pasal-pasal itu merupakan pasal-pasal makar peninggalan mantan kolonial Belanda sebagai akar penyebab pelanggaran hak asasi manusia dalam berbagai jenis dan bentuk yang diderita oleh rakyat Papua Barat sampai sekarang. Sehingga permohonan keberatan ini diajukan terhadap pasal-pasal KUHP itu untuk diklarifikasikan dan dikonfirmasikan dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional melalui mekanisme peninjauan hukum peradilan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia,” papar Jimmy Monim.

Pemohon berdalih, Pasal 28G Ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945, amandemen I sampai IV dalam satu naskah menyebutkan, “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.”

Pengujian  Pasal 104, Pasal 106, Pasal 107, Pasal 108 juncto Pasal 87 dan Pasal 88 KUHP sebagai keberatan Masyarakat Adat Papua karena bertentangan dengan Pasal 28G Ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 amendeman I sampai dengan IV dalam satu naskah dari 17-19 Oktober 2011.

“Masyarakat Adat Papua telah melakukan penyelenggaraan Kongres ke-III rakyat Papua Barat di Jayapura dengan deklarasi setiap bangsa Papua di Papua Barat. Ada surat restu dari Pemerintah Indonesia terlampir foto kopinya dan telah memenuhi syarat-syarat hukum umum internasional dalam diri deklarasi sepihak itu sendiri dan harus dilindungi oleh pemerintah Indonesia sesuai Pasal 28G Ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945,” jelas Jimmy.

Terhadap dalil-dalil Pemohon, Ketua Panel Manahan MP Sitompul mencermati sisi formalitas permohonan Pemohon. Ia menyarankan agar permohonan memuat Kewenangan Mahkamah dalam judicial review. Selain itu, menurut Manahan, Pemohon tidak memuat legal standing Pemohon. “Harus diuraikan legal standing-nya, ya. Legal standing itu di Pasal 51 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi. Setelah alasan-alasan itu dikemukakan, yang terakhir petitum. Saudara bisa lihat bagaimana bentuk petitum dari permohonan-permohonan atau putusan-putusan Mahkamah Konstitusi sebelumnya,” ujar Manahan.

Sementara itu Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menyoroti judul permohonan Pemohon. “Dari judulnya sudah harus bisa menjelaskan permohonan. Karena judul yang dibuat Pemohon adalah keberatan terhadap KUHP, terhadap masyarakat adat Papua. Padahal Pak Jimmy sebagai seorang advokat tahu bahwa KUHP tidak hanya berlaku di masyarakat adat Papua, berlaku untuk seluruh Indonesia, Negara Kesatuan Republik Indonesia termasuk adalah Papua. Jadi, berlaku semuanya. Karena itu diperbaiki judulnya juga kalau ingin menguji pasal-pasal tersebut,” saran Enny.

“Kemudian Pak Jimmy juga harus melihat apakah ada putusan-putusan MK terkait dengan pengujian terhadap Pasal-Pasal 104, 106, dan seterusnya. Supaya nanti jangan sampai apa yang kemudian dimohonkan itu ternyata sudah ada yang melakukan pengujiannya dan sudah diputus oleh MK. Tujuannya adalah supaya Pak Jimmy bisa melihat apa yang berbeda dari pengujian yang sekarang ini dengan yang sebelumnya. Itu nanti dilihat, dicari putusan MK,” tandas Enny.

Sedangkan Hakim Konstitusi Arief Hidayat  menambahkan beberapa hal yang harus diperhatikan Pemohon, supaya permohonan ini menjadi permohonan yang sesuai dengan Undang-Undang. Di antaranya, Arief mengamati identitas Pemohon. “Identitas Pemohon langsung saja disebutkan Kewarganegaraan Indonesia. Jadi tidak ada Kebangsaan Papua, tidak ada itu ya. Tapi Kewarganegaraan Indonesia. Terus dalam kaitannya dengan legal standing, Pemohon ini sebagai individu perorangan warga negara atau sebagai ketua adat?” ujar Arief mempertanyakan. (Nano Tresna Arfana/LA/https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=16094&menu=2)

Post a Comment

0 Comments