PANDANGAN MASYARAKAT ADAT TERHADAP HAK ULAYAT OAP

Oleh Wilzson Mobalen, Ketua AMAN Se-Sorong Raya

Masyarakat hukum atau persekutuan hukum adalah kesatuan manusia yang teratur, menetap di suatu daerah tertentu, mempunyai penguasa-penguasa dan mempunyai “harta kekayaan sendiri baik yang berwujud dan tidak berwujud”, dimana para anggota kesatuan masing-masing mengalami kehidupan dalam masyarakat sebagai hal yang wajar menurut kodrat alam dan tak seorang pun diantara para anggota itu mempunyai pikiran atau kecenderungan untuk membiarkan ikatan yang telah tumbuh itu atau meninggalkannya, dalam arti melepaskan diri dari ikatan itu untuk selamanya. “Negara punya konsep Hak. Masyarkat adat juga punya konsep Hak Dan Wilayah Hidup Masyarkat Adat”

Di dalam hukum adat, antara masyarakat hukum sebagai kesatuan hukum dengan tanah yang didudukinya, terdapat hubungan yang erat sekali, yaitu hubungan yang bersumber pada pandangan yang bersifat relegio magis.

Hubungan ini menyebabkan masyarakat hukum memperoleh hak untuk menguasai tanah tersebut, memanfaatkan tanah tersebut, memungut hasil dari tumbuh-tumbuhan yang hidup di atas tanah adat tersebut.

Masyarakat Papua, Tanah dan hutan bagi masyarakat adat Papua dan juga masyarakat adat pada umumnya bukan saja merupakan sumber kehidupan ekonomi semata, namun juga merupakan sentral kebutuhan spiritual.

Terdapat konsep kunci dalam tradisi masyarakat adat Papua, bahwa tanah adalah “ibu”. Hingga kini sesungguhnya bagi masyarakat adat Papua, tanah tidak bisa diperjual belikan (Rahman 2007).

Hak ulayat merupakan hak penguasaan tertinggi dalam masyarakat hukum adat tertentu atas tanah yang merupakan kepunyaan bersama para warganya. Meskipun demikian, ketentuan dalam UUPA juga memberikan batasan terkait dengan eksistensi dari hak ulayat masyarakat hukum adat.

Papua merupakan salah satu daerah di Indonesia yang sampai saat ini masih menerapkan Hak Ulayat dalam status Hak Atas Tanah. Dalam penerapannya terdapat berbagai masalah yang timbul disebabkan beberapa hal, seperti ketidakadilan pemerintah dan adanya kejanggalan pada perda Hak Ulayat terkait dengan eksistensi masyarakat adat Papua dan keberadaan hak ulayat masyarakat tersebut.

Permasalahan yang timbul adalah ketidakjelasan batas-batas wilayah Hak Ulayat masyarkat Pribumi atau yang dikenal dengan masyarkat adat Papua, sehingga menghambat proses pemindahan hak atas tanah, dan malah menimbulkan konflik horisontal antar suku.

Sesunguhnya, jauh sebelum ada negara Indonesia, masyarkat adat Papua sudah mengenal yang namanya batas-batas administrasi wilayah adat per suku dan sub suku yang ditandai dengan batas-batas alam, wilayah, bahasa dan adat istiadat, tapi juga mereka sudah mengenal wilayah pemerintahan adat dan administrasi wilayah masing-masing.

Juga di sisi lain, mereka mengenal batas-batas hak ulayat( atau wilayah kepemilikan mereka), Dalam bentuk batas alam, Pohon-pohon besar, Gunung, Sungai, Rawa, Batu besar dan sebagainya.

Tapi juga keberadaan wilayah adat di Papua sangat luas, sebagian besar wilayah di Papua yang kosong adalah milik masyarkat adat Papua dan wilayah – wilayah tersebut sudah ditetapkan pada zaman dahulu, jauh sebelum negara ada dan itu mutlak adanya.

Oleh karena itu, pendapat Negara yang menyatakan bahwa, kawasan hutan tak berpenghuni adalah kawasan yang tak bertuan adalah tidak tepat dalam memberikan istilah tersebut Karena hukum adat atau hukum rimbah sudah mengatur hal sedemikan rupa bagi masyarkat adat.

Hukum adat sudah mengatur kepemilikan tanah, hutan, gunung dan segala yang ada di dalamnya di seluruh tanah Papua dan itu mutlak bagi masyarkat adat Papua, tapi itu menurut Negara Indonesia hari ini hukum adat yang berlaku kurang efektif untuk menentukan batas tanah ulayat masyarkat adat papua.

Masyarakat adat diakui secara internasional sebagai bagian dari masyarakat dalam komposisi dan konstelasi sosial-politik masyarakat modern (Baca: HAM Masyarakat Adat pasal 1, 2, dan 3– eksistensi dan jati diri Madat). Mereka tidak masuk ke dalam kelompok Masyarakat Sipil, Masyarakat Ekonomi ataupun Politik. Maka, jelas Madat berhak menikmati segala hak yang seharusnya dimiliki dan dinikmati oleh semua umat manusia di planet bumi ini, termasuk hak untuk menghargai dan mengatur tanah (hutan—lingkungan hidup) yang merupakan sumber kehidupan dan identitas (Papuapost.com, 19 Juni 2008).

Namun konsep negara yang hanya membangun invastruktur namun tidak sesuai dengan kelolah tata ruang dari masyarkat adat Papua, sehingga mengacaukan atministrasi wilayah adat, ulayat administrasi dan pemerintahan adat yang berlaku tapi juga yang mengatur masyarkat adat di wilayah dimana mereka tinggal dan berkembang juga hak-hak Ulayat tidak diakui bagi pemerintahan resim ini dan yang diakui wilayah administrasi pemerintah versi negara.

Sehingga mengakibatkan konflik horisontal antara masyarakat Adat dan Pemerintahan daerah terkait batas administrasi wilayah adat dan wilayah pemerintahan. Dampaknya bagi masyarkat adat adalah masyarkat adat akan disingkirkan dari wilayah adat, perampasan wilayah masyarkat adat yang akan berunjuk pada Pelanggaran HAM.

Sebelum pemerintah membangun atau melakukan Investasi pemekaran, jauh sebelumnya harus ada sosialisasi kepada masyarkat adat. Dan juga harus meminta pendapat masyarkat adat tentang pemekaran atau perluasan wilayah dan penetapan atministrasi wilayah fersi negara harus menggikuti atministrasi yang berlaku di tengah kalangan masyarkat adat papua Agar tidak menjadi pemicu konflik orisontal yang akan berunjuk kepada pelanggaran ham bagi masyarkat adat Papua.

Menentukan Nasib Sendiri

Mandat ILO adalah hak sosial dan ekonomi. Penerjemahan konsep politik dari hak untuk menentukan nasib sendiri berada di luar kemampuan ILO. Namun, Konvensi No. 169 tidak memberikan batasan apapun pada hak untuk menentukan nasib sendiri. Konvensi ini sesuai dengan perangkat internasional apapun yang akan dibuat di masa mendatang, yang mungkin menentukan atau mendefinisikan hak tersebut.

Yang diberikan oleh Konvensi No. 169 adalah hak untuk mengelola sendiri, dan hak masyarakat hukum adat untuk menentukan prioritas mereka sendiri. Konvensi No. 169 menggunakan istilah “masyarakat”. Saat perundingan menuju pengadopsian Konvensi No. 169, diputuskan bahwa istilah ini merupakan satu-satunya cara yang dapat digunakan untuk menjabarkan masyarakat hukum adat.

“sepertinya terdapat kesepakatan umum bahwa istilah “masyarakat” dapat mencerminkan identitas tersendiri secara lebih baik, yang harusnya menjadi tujuan dari sebuah konvensi yang direvisi guna mengakui kelompok populasi tersebut..”

Konsep Tanah

Banyak masyarakat hukum adat yang memiliki hubungan istimewa dengan tanah. Tanah adalah tempat mereka tinggal, dan mereka telah berdiam di sana selama beberapa generasi. Di banyak kasus, pengetahuan tradisional dan sejarah lisan mereka terkait dengan tanah, kerap dianggap suci, atau memiliki makna spiritual.

Konsep tanah biasanya mencakup keseluruhan wilayah yang mereka gunakan, termasuk hutan, sungai, gunung dan laut, baik permukaan maupun di bawah permukaan. Tanah amat penting bagi kebudayaan dan kehidupan dari banyak masyarakat hukum adat. Tanah adalah dasar kelangsungan hidup ekonomi, kesejahteraan spiritual dan identitas budaya mereka. Oleh karena itu, kehilangan tanah peninggalan leluhur mengancam keberlangsungan hidup mereka sebagai sebuah komunitas dan masyarakat.

Adat dan Tradisi

Adat dan tradisi masyarakat hukum adat adalah hal yang utama dalam banyak kehidupan mereka. Adat dan tradisi membentuk sebuah bagian yang penting dari kebudayaan dan identitas masyarakat hukum adat, dan ini berbeda dari masyarakat lain di negara tersebut. Adat dan tradisi ini bisa meliputi pemujaan leluhur, upacara keagamaan atau spiritual, tradisi lisan dan ritual yang telah diturunkan dari generasi ke generasi. Banyak upacara yang mencakup persembahan terhadap roh-roh alam dan diadakan untuk menjaga keseimbangan dengan alam.

Eksploitasi hutan di Papua menghancurkan dasar penghidupan masyarakat adat perbukitan dan datarn di daerah – daerah tersebut, menghancurkan pohon dan tempat tinggal mereka, serta upacara dan keyakinan yang terkait dengan kedua hal tersebut. Akibatnya menyebabkan ketidakseimbangan antara masyarakat adat Papua dan hutan.

Musik dan tarian tradisional masyarakat hukum adat juga merupakan ekspresi penting dari identitas budaya mereka yang berbeda. Selain itu, bahasa masyarakat hukum adat seringkali berbeda dari bahasa yang dipakai penduduk lain di negara Indonesia, baik dalam bentuk tertulis maupun lisan. Bahasa ini kerap dijadikan cara untuk mempertahankan sejarah dan tradisi lisan agar tetap hidup. Terdapat elemen elemen dasar dari akar dan identitas masyarakat hukum adat.

Seringkali, sebagai hasil dari kebijakan asimilasi yang diterapkan sejak kolonialisasi, penduduk asli kehilangan bahasa dan simbol-simbol budaya mereka secara tidak sengaja. Hal ini merupakan salah satu alasan mengapa Konvensi No. 169 tidak meminta sebuah bahasa tertentu digunakan untuk dapat diakui sebagai seorang penduduk asli. Melainkan, konvensi ini mendorong untuk menjunjung dan mengembangkang nilai-nilai budaya mereka.

Manifestasi yang dapat terlihat atas kebudayaan dan tradisi masyarakat hukum adat adalah pakaian mereka, yang seringkali berbeda dari penduduk lainnya, dan biasanya terbuat dari sumber daya alam yang tersedia.

#AMAN  SORONG RAYA*
Sumber: https://brwa.or.id/articles/read/367

Post a Comment

0 Comments